Who remember Allah while standing or sitting or [lying] on their sides and give thought to the creation of the heavens and the earth, [saying], "Our Lord, You did not create this aimlessly; exalted are You [above such a thing]; then protect us from the punishment of the Fire.( 'Āli `Imrān(3):191)

Selasa, 06 November 2012

HOS Tjokroaminoto, Bapak Pers Nasional?
Senin, 27/09/2010 | 09:43 WIB
Oleh : Hendra Sugiantoro
“Wie goed Mohammedaan is, is van zelf socialist, en wij zijn Mohammedanen, dus zijn wij socialisten.”
Itulah kata-kata Tjokroaminoto yang cukup mendalam ketika wabah komunisme melanda dunia pergerakan. Kata-kata Belanda itu artinya, “Seorang muslim sejati dengan sendirinya menjadi sosialis, dan kita kaum muslimin, jadi kita kaum sosialisten.”
Dengan karya tulisnya berjudul Islam dan Sosialisme yang ditulis pada tahun 1342H/1924M itu, Tjokroaminoto melawan siapa pun yang mengagungkan paham komunisme. Tulisan Tjokroaminoto bisa dibilang menjadi salah satu senjata perlawanan yang digunakannya.
Tjokroaminoto tak hanya cakap dalam berorasi yang  tanpa mikrofon pun bisa terdengar keras, tapi ia juga bersuara keras lewat pena. Lahir pada 16 Agustus 1882, Tjokroaminoto merupakan sosok yang ditakdirkan sejarah menjadi “guru tokoh pergerakan”.
Soekarno, Presiden RI 1945-1966, pernah ngangsu kawruh pada Tjokroaminoto. Seni pidato Tjokroaminoto dipelajari Soekarno sehingga Soekarno pun beroleh kemampuan serupa. Ada beberapa tokoh lain yang menjadi murid dari Tjokroaminoto. Rumah Tjokroaminoto di Surabaya tercatat dalam sejarah menjadi tempat belajar politik yang sekaligus menjadi rumah pergerakan. Tjokroaminoto boleh dibilang memiliki daya untuk menginspirasi siapa pun. Ide-idenya terbilang luar biasa. Selain disampaikan lewat ceramah, surat kabar menjadi lahan untuknya menyampaikan pemikiran.
Dalam buku 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia, tertulis: “Gagasan patriotiknya bisa dilihat dalam berbagai ceramah dan tulisan di media massa seperti Bintang Surabaya, Utusan Hindia, Fajar Asia.” (Tim Narasi, 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia (Yogyakarta: Narasi, cetakan 3 (Edisi Revisi), 2009), hlm.79).
Dari kalimat di atas, ada tiga surat kabar yang menjadi lahan menulis Tjokroaminoto:(1). Bintang Soerabaia, (2). Oetoesan Hindia, dan (3). Fadjar Asia (ejaan penulis sesuaikan dengan masanya). Selama ini Tjokroaminoto lebih dikenal dengan Oetoesan Hindia-nya. Dari catatan, Bintang Soerabaia terbit sekitar akhir tahun 1800-an dengan menggunakan bahasa Melayu. Terkait penerbitan Bintang Soerabaia ini, penulis  perlu menelusuri lebih lanjut. Adapun Oetoesan Hindia, surat kabar ini bisa dikatakan juga menjadi lahan menulis aktivis-aktivis Sjarikat Islam.
Bahkan, Tjokroaminoto sendiri yang memimpin surat kabar yang terbit pertama kali pada Desember 1912 itu. Awalnya penerbitan Oetoesan Hindia disokong badan usaha bernama Setija Oesaha yang didirikan Hasan Ali Soerati, pedagang Arab.
Tjokroaminoto bisa mengendalikan total Oetoesan Hindia ketika membeli saham Setija Oesaha secara penuh pada 1913. Nah, pada tahun 1913 ini, Tjokroaminoto ternyata tak hanya mengelola Oetoesan Hindia.
Pada tahun itu, Tjokroaminoto bersama Agus Salim dan Kartosoewirjo menerbitkan Fadjar Asia. Lewat surat-surat kabar itu, Tjokroaminoto cukup piawai mengelola penerbitan pers. Oetoesan Hindia, misalnya, diterbitkan lima kali dalam sepekan yang memuat berita, opini, dan iklan. Oetoesan Hindia libur setiap Jum’at dan Sabtu. Berita yang dipublikasikan di Oetoesan Hindia tak hanya dari dalam negeri, tapi juga berita internasional. Karena surat kabar ini dipimpin oleh Tjokroaminoto yang juga sebagai pimpinan Sjarikat Islam, isi di dalamnya pastinya menyuarakan aspirasi dan kepentingan Sjarikat Islam.
Lewat Oetoesan Hindia, aktivis Sjarikat Islam memiliki ruang menumpahkan gagasan dan pemikirannya, seperti menentang kapitalisme atau menyoal masalah-masalah yang terjadi di dalam negeri. (Lihat juga dalam Taufik Rahzen et.al., Seabad Pers Kebangsaan (1907-2007): Bahasa Bangsa, Tanah Air Bahasa (Jakarta: I:BOEKOE, Desember 2008), hlm. 83-86).
Jejak pers Tjokroaminoto boleh dibilang panjang. Sekitar dua tahun sebelum meninggalnya, Tjokroaminoto masih berikhtiar menerbitkan Bandera Islam pada 1932 bersama beberapa tokoh. Tjokroaminoto meninggal dunia pada 1934.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar